Gunung Rinjani merupakan salah satu destinasi wisata alam paling ikonik di Indonesia yang terletak di Nusa Tenggara Barat (NTB). Keindahan alamnya yang spektakuler menjadikannya favorit bagi para pendaki lokal maupun mancanegara. Namun, di balik pesona alamnya, pengelolaan wisata Gunung Rinjani terus menjadi isu yang kompleks dan penuh dinamika. Konflik kewenangan, penataan jalur pendakian, hingga pelibatan masyarakat lokal dalam sektor pariwisata menjadi sorotan berbagai pihak.
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), dan kelompok masyarakat sipil saling tarik menarik dalam hal kewenangan pengelolaan. Perbedaan pandangan terkait sistem pemesanan online, kuota pendakian, serta distribusi keuntungan ekonomi membuat suasana semakin memanas. Banyak pihak menilai perlu ada sistem kolaboratif yang transparan agar wisata Rinjani bisa dikelola secara berkelanjutan dan inklusif.
Pada tahun 2025, polemik pengelolaan wisata Gunung Rinjani kembali menjadi perbincangan hangat setelah munculnya penolakan dari sebagian masyarakat lokal terhadap sistem tiket online. Masyarakat adat dan pelaku wisata setempat menilai sistem ini tidak berpihak pada kearifan lokal dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Artikel ini akan mengulas secara lengkap berbagai aspek pengelolaan wisata Rinjani yang terus berkembang dan memunculkan pro-kontra.
Sejarah dan Pentingnya Gunung Rinjani sebagai Destinasi Wisata
Gunung Rinjani tidak hanya sekadar objek wisata, tetapi juga memiliki nilai ekologis, spiritual, dan sosial yang tinggi. Dengan ketinggian 3.726 mdpl, Rinjani merupakan gunung tertinggi kedua di Indonesia dan menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani yang ditetapkan sejak 1997.
Selain keindahan Danau Segara Anak, air terjun, hingga kawah dan jalur pendakian yang menantang, kawasan ini juga menjadi rumah bagi flora-fauna endemik yang dilindungi. Keberadaan situs budaya dan spiritual, seperti ritual Mulang Pakelem oleh masyarakat Hindu Bali, menjadikan Gunung Rinjani punya daya tarik lebih dari sekadar destinasi petualangan.
Itulah sebabnya pengelolaan wisata Gunung Rinjani membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, tidak semata-mata berorientasi pada ekonomi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan sosial. Sayangnya, pendekatan ini belum sepenuhnya dijalankan secara konsisten oleh semua pemangku kepentingan.
Polemik Sistem Tiket Online dan Kuota Pendakian
Salah satu sumber konflik utama dalam pengelolaan wisata Gunung Rinjani adalah sistem tiket online yang diberlakukan oleh BTNGR. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk mengontrol jumlah pendaki dan menjaga kelestarian alam, sistem ini menuai kritik tajam dari pelaku wisata lokal.
Mereka menilai bahwa sistem ini tidak ramah bagi wisatawan yang datang langsung ke lokasi, dan lebih parahnya lagi, mengurangi peran serta masyarakat lokal sebagai penyedia jasa. Ada kekhawatiran bahwa sistem ini justru mempersempit ruang penghidupan masyarakat setempat dan menguntungkan pelaku usaha dari luar daerah.
Kuota pendakian yang dibatasi hingga 150 orang per hari di setiap pintu masuk juga dianggap tidak mempertimbangkan fluktuasi wisatawan pada musim liburan. Hal ini berdampak langsung pada pendapatan porter, pemandu, dan usaha kecil menengah di sekitar kawasan.
Kewenangan Pengelolaan yang Tumpang Tindih
Permasalahan lainnya dalam pengelolaan wisata Gunung Rinjani adalah belum jelasnya pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Balai Taman Nasional yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sering kali berbeda pandangan dengan Pemerintah Daerah Lombok Timur dan Lombok Utara.
Keduanya saling berebut peran dalam pengaturan kebijakan, pemungutan retribusi, hingga pengawasan operasional lapangan. Kondisi ini menciptakan kebingungan di lapangan, di mana masyarakat dan pelaku wisata lokal merasa menjadi korban tarik menarik kepentingan antar instansi.
Untuk menyelesaikan hal ini, diperlukan kebijakan lintas sektor yang menyatukan pandangan semua pihak dan mengutamakan keberlangsungan ekosistem serta kesejahteraan masyarakat lokal. Sistem kolaborasi dan pembagian peran yang jelas adalah solusi yang perlu segera diwujudkan.
Peran Penting Masyarakat Lokal dalam Ekosistem Wisata
Pengelolaan wisata Gunung Rinjani tak akan berhasil tanpa keterlibatan aktif masyarakat lokal. Mereka bukan hanya penyedia jasa seperti porter dan pemandu, tetapi juga penjaga budaya, pengetahuan lokal, dan pelestari lingkungan.
Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat yang merasa termarjinalkan dari proses pengambilan keputusan. Sistem pemesanan online, kebijakan kuota, dan pembatasan akses dinilai sebagai bentuk eksklusi terhadap masyarakat lokal. Beberapa kelompok menuntut agar hak mereka dalam mengelola jalur pendakian secara tradisional tetap dihormati.
Upaya pemberdayaan seperti pelatihan pemandu wisata, koperasi porter, dan inisiatif ekowisata berbasis desa menjadi penting untuk memperkuat peran masyarakat dalam ekosistem pariwisata Rinjani. Kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan komunitas lokal harus terus diperluas agar model pengelolaan yang adil dan berkelanjutan bisa diterapkan.
Solusi Pengelolaan Wisata yang Inklusif dan Berkelanjutan
Untuk mengatasi semua tantangan yang ada, dibutuhkan solusi pengelolaan wisata Gunung Rinjani yang inklusif dan berkelanjutan. Hal ini mencakup kebijakan terpadu yang memperhatikan aspek lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi secara seimbang.
Beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Revisi sistem tiket online agar lebih inklusif terhadap masyarakat lokal
- Penyesuaian kuota pendakian berdasarkan musim dan evaluasi dampak lingkungan
- Penguatan kelembagaan lokal dalam pengelolaan jalur dan jasa wisata
- Transparansi pendapatan dari retribusi wisata
- Edukasi ekowisata dan tanggung jawab konservasi kepada wisatawan
Keberhasilan pengelolaan tidak hanya diukur dari jumlah kunjungan wisatawan, tetapi juga dari seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh masyarakat sekitar dan seberapa baik kelestarian alam terjaga.
FAQ
1. Siapa yang berwenang mengelola Gunung Rinjani?
Secara administratif, pengelolaan berada di tangan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) di bawah KLHK. Namun, pemerintah daerah dan masyarakat lokal juga memiliki peran penting.
2. Apa saja jalur resmi pendakian Gunung Rinjani?
Terdapat beberapa jalur resmi seperti Sembalun, Senaru, Aik Berik, dan Timbanuh.
3. Mengapa tiket pendakian harus dipesan online?
Tujuannya untuk mengatur kuota pendaki agar tidak melebihi kapasitas dan menjaga kelestarian lingkungan.
4. Bagaimana dampak kuota pendakian bagi masyarakat lokal?
Kuota membatasi jumlah wisatawan sehingga berpengaruh langsung pada penghasilan porter, pemandu, dan usaha sekitar.
5. Apakah wisatawan masih bisa mendaki tanpa memesan online?
Sesuai peraturan terbaru, semua pendaki wajib memesan tiket secara online melalui sistem resmi BTNGR.